Sabtu, 09 April 2011

Disconnect to Connect

,
Di sebuah tepi pantai. Matahari tidak terlalu terik. Laut sedang tenang, dan sepasang lelaki perempuan berjalan di sepanjang pasirnya yang bersih terbentang.

Setelah beberapa langkah, terlihat bahwa laki-laki itu berjalan seorang diri menyusuri pantai. Pasangannya, perempuan cantik berambut panjang yang tadi berjalan bersisian dengannya, menghilang dari pandangan.

Tunggu. Perempuan itu tentulah masih berjalan di sampingnya. Jejak kaki mereka berdua tampak masih berdampingan, meski sosok perempuan itu seolah lenyap entah kemana.

Adegan kedua, seorang pemuda sedang asyik bercengkrama dengan smartphone di tangannya. Ia duduk di sebuah bangku panjang, sendirian. Di samping kirinya, dua buah gitar bergerak-gerak seolah sedang memainkan satu lagu dengan beat riang.

Yang paling menyentuh adalah suasana yang menggambarkan ruang keluarga di sebuah rumah tinggal. Seorang laki-laki setengah baya, dengan kemeja rapi khas orang kantoran, duduk seorang diri di sofa panjang. Ia sibuk mengetikkan sesuatu di keypad telepon genggam.

Di atas coffee table di depannya, nampak selembar kertas putih, berisi gambar setengah jadi. Coretan khas kanak-kanak. Gambar sederhana sebuah rumah, pohon, dan sesosok manusia di antara kedua obyek tersebut. Sebatang krayon masih menari-nari di atas kertas itu, menambahkan detail pada gambar yang baru setengah jadi.

Sesuatu kemudian menyentak kesadaran. Laki-laki berkemeja rapi itu menatap ke arah meja kopi, lantas mematikan handphone pintarnya yang tampak mahal, dan meletakkannya begitu saja di atas meja.

Di depannya kini, seorang gadis kecil dengan rambut dikuncir, terlihat tertawa-tawa sambil terus menggambar. Tangan mungilnya menggenggam krayon berwarna biru muda. Sementara satu set krayon warna warni berserakan di atas meja. Pandangannya berpindah-pindah, dari gambar setengah jadi ke ayahnya yang duduk di sofa di belakangnya.

Raut sang ayah seketika berubah. Dari serius –begitu seriusnya hingga ia lupa sudah berada di rumah, bukan lagi di kantor-- ke ekspresi lembut seorang bapak yang mencintai keluarganya. Anak kecil berponi dan berkuncir lucu di hadapannya. Mereka kemudian terlibat percakapan, tertawa berdua, dan kemudian si ayah mendekat, merengkuh kepala gadis kecil itu ke dalam pelukannya yang hangat.

Adegan 'Nyata'

Cuplikan beberapa adegan di atas saya temukan di Youtube, berjudul Disconnect to connect. Satu iklan layanan masyarakat keluaran sebuah provider negeri tetangga. Kalau mau jeli –dan jujur— adegan-adegan semacam ini bukan hal yang asing buat kita.

Perhatikan saja. Hampir di semua tempat, jika ada empat orang duduk bersama di satu meja, bisa dipastikan, setidaknya dua di antaranya, pasti lebih banyak sibuk dengan gadget masing-masing ketimbang ngobrol dengan dua orang yang lain. Meng-update status di twitter dan facebook, mengamati apa yang terjadi di belahan lain dunia, membaca berita, membalas email masuk.

Jadi ingat, seorang kawan pernah membuat saya dan teman-teman lain merasa tak enak hati. Pada suatu malam, kami nongkrong di suatu tempat. Dan seperti biasa, sambil ngobrol, kami semua tetap khusyuk dengan smartphone masing-masing.

Kawan yang membuat kami tak enak hati ini berujar: “tau gak sih, waktu yang paling berharga adalah saat ini, detik ini. Orang yang paling berharga di dunia adalah orang-orang yang sedang bersama kita, saat ini, detik ini.”

Perlahan-lahan, merasa tersentil, kami bertiga lantas mematikan apa pun gadget yang sedang kami pegang, dan menyimpannya di tempat yang jauh dari jangkuan.

Pesan besarnya, barangkali, adalah ini: mari luangkan lebih banyak waktu berkualitas dengan orang-orang yang kita sayangi.

Anda setuju? :)

sumber: http://venus-to-mars.com

1 komentar:

  • 10 April 2011 pukul 20.33
    lab c sore says:

    nice info gan..

Posting Komentar